Senin, 05 November 2012

Bentuk Usaha Perseroan

Sifat dan Ciri Khas Suatu perseroan Terbatas Perseroan Terbatas merupakan badan hukum (legal entity) yaitu badan hukum “mandiri” (persona standy in judicio), yang memiliki sfat dan ciri kualitas yang berbeda dengan bentuk badan usaha lain. Perseroan Terbatas sebagai badan hukum memiliki karakteristik sebagai berikut: • PT sebagai asosiasi modal • Kekayaan dan Utang Perseroan Terbatas adalah terpisah dari kekayaan dan utang pemegang saham. • Pemegang Saham bertanggungjawab secara terbatas dalam PT. Pertanggung jawaban dalam PT. • Adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan pengurus atau Direksi • Memiliki Komisaris yang berfungsi sebagai Pengawas. • Kekuatan tertinggi pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sebagai suatu badan hukum dan juga sebagai sebjek hukum mandiri harus juga didasarkan pada persyaratan formil, yaitu proses pembentukannya yang harus memenuhi formalitas dari suatu peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, hingga diakui sebagai subjek hukum mandiri. Dalam Perseroan Terbatas, misalnya syarat formil menjadi badan hukum adalah: 1. Akta pendirian dibuat dalam bentuk akta notaris. 2. Akta pendirian dibuat dalam bahasa Indonesia. 3. Harus sekurangnya didirikan oleh dua orang/badan hukum yang cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum sebagai pendiri. 4. Nama perseroan harus mengikuti aturan yang telah ditentukan. 5. Penyetoran modal harus harus sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. 6. Harus disampaikan kepada Menteri Hukum Dan HAM dalam jangka waktu 60 hari terhitung sejak penandatanganan akta pendiriannya untuk memperoleh pengesahan Sifat badan hukum, termasuk perseroan terbatas senantiasa dikaitkan dengan pertanggungjawaban terbatas. Yang dinamakan dengan dan menjadi tujuan dari pertanggungjawaban terbatas ini adalah ”shield the personal assets of both shareholders and directors from personal liability for the debts or actions of a corporation”. Yang berarti keberadaan dari suatu perseroan yang telah memperoleh status badan hukum, melahirkan perlindungan harta kekayaan pribadi dari pendiri yang kemudian berubah status menjadi pemegang saham, san pengurus perseroan terbatas, yang di Indonesia dilaksanakan oleh Direksi dibawah pengawasan Dewan Komisaris. Konsep Yuridis Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan ”Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan anggaran dasar. Direksi sebagai organ perseroan diberikan kewenangan mengurus perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan tersebut, dan apabila direksi tersebut lalai dalam menjalankan pengurusan maka direksi tersebut akan bertanggung jawab penuh atas kelalaian yang diperbuat. Perilaku yang berwenang dan bertanggung jawab penuh. Bila perilaku anggota Direksi yang berwenang tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan maka itu merupakan “nilai” positif dan sebaliknya bila tidak sesuai maka itu merupakan nilai negative yang dapat diminta pertanggung jawaban. Dengan demikian Direksi adalah suatu struktur yang merupakan organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas penggurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Pengaturan Tugas dan Tanggung Jawab Direksi dalam Pengelolaan Perseroan Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 terdapat pengaturan tentang tanggung jawab direksi. Hal ini dikarenakan daya saing yang tinggi, perkembangan ekonomi yang semakin dinamis dan memacu pembangunan nasional. Persoalan yang muncul dalam pengkajian ini adalah bagaimana pengaturan dan tanggung jawab anggota Direksi dalam mengelola Perseroan dalam UUPT Nomor 40 Tahun 2007. 1. Ruang lingkup tugas dan tanggung jawab pengurusan Perseroan oleh Direksi dalam UUPT Nomor 40 tahun 2007. Ruang lingkup kewenangan Direksi dalam pengurusan Perseroan yang diamanatkan oleh UUPT Nomor 40 tahun 2007 sangatlah luas dan menunjukan ciri suatu sistem. Sistem yang digunakan untuk menunjukan pengertian skema atau metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu metode tata cara. Tugas Direksi dalam mengelola perseroan dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu. Pertama, tugas dan tanggung jawabyang didasarkan kepada kepercayaan (fiduciary duty). Kedua, tugas dang tanggung jawab yang didasarkan kepada keahlian, kehati-hatian, loyalitas dan ketekunan (duty of skill, care, loyalty and deligence). Ketiga tugas dan tanggung jawab berdasarkan Undang-undang (duty of statutory) 2. Prinsip pengelolaan Perseroan yang baik (good corporate govermance) Good Corporate Govermance (GCS) adalah suatu kaidah, norma atau pun suatu pedoman yang dibutuhkan oleh korporasi dalam sistim pengelolaan Perseroan yang sehat.59 Pengabaian terhadap GCG ini dapat mengakibatkan konsekwensi hukum terhadap Perseroan maupun terhadap pengurusnya. Direksi berkewajiban mengelola Perseroan dengan itikad baik. Dalam hal Direksi mengambil keputusan untuk menanda tangani perjanjian dengan pihak lain harus mengikuti Undang-undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar Perusahaan, dan Peraturan Perusahaan. Syarat Untuk Menjadi Penanggung Hutang Pada umumnya penanggungan itu dapat timbul untuk menjamin perutangan dari segala macam hubungan hukum. Dalam hubungan hukum yang bersifat keperdataan umum dimungkinkan juga bahwa penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan prestasi yang lahir dari hubungan hukum yang bersifat hokum publik. Asal prestasi dapat dinilai dalam bentuk uang. Pengunaan istilah penanggungan atau perjanjian penanggungan sebagai terjemahan dari istilah Borgtocht yang lazim digunakan oleh para sarjana. (Pasal 1820 – 1850 KUHPerdata). Kata penanggungan mempunyai kaitan dengan soal menanggung dan hal itu juga menonjolkan ciri penting yang lain yaitu bahwa disana ada sesuatu yang ditanggung akan terjadi dan ini selanjutnya menampilkan cirri accessoir daripada perjanjian penanggungan yang memang merupakan ciri khas perjanjian seperti itu Setiap ada perjanjian pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian utang piutang yang disebut dengan perjanjian pokok karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokonya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai maka perjanjian jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian ini disebut accessoir. Dilain pihak ada kekurangannya juga karena istilah menanggung hutang juga digunakan untuk mereka yang menjamin perikatan orang lain dengan benda tertentu miliknya. Demikian pula dengan istilah penanggungan hutang pribadi bisa menimbulkan kesan seakan-akan diri pribadi penanggung hutang yang diberikan sebagai jaminan. Dalam perjanjian penanggungan hutang berisikan tentang: a. Borg adalah pihak ketiga; b. Penanggungan diberikan demi kepentingan Kreditur; c. Borg mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan Debitur, kalau Debitur wanprestasi; d. Ada perjanjian bersyarat Dalam Pasal 1821 ayat (1) KUHPerdata untuk adanya penanggungan diisyaratkan adanya perikatan pokok yang sah maka yang dimaksud disana adalah bahwa perikatan pokoknya tidak boleh mengandung cacat yang menyebabkan batal misalnya perikatan pokok bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1320 angka 4 jo Pasal 1335 KUHPerdata) walaupun saat diberikan pertanggungan belum ada yang mengkonstantir batalnya perikatan pokok yang bersangkutan. Dan dalam Pasal 1824 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penanggungan tidak dipersangkakan tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas. Jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam kurun waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang si debitur. Dalam Pasal 1826 KUHperdata menetapkan bahwa perikatan-perikatan si penanggung ini dapat beralih kepada ahli warisnya, hal ini dikarenakan menurut asas hukum pewarisan bila seorang meninggal dunia maka segala aktiva dan passive menjadi milik ahli warisnya, begitu juga dalam hal ini , maka si ahli waris wajib membayar utang yang ditinggalkan oleh penanggung bila penanggung meninggal dunia. Dan untuk selanjutnya si ahli waris inilah yang menjadi penanggung yang akan melaksanakan segala hak dan kewajiban dari pewaris sebagai penanggung. Adapun jenis-jenis penanggungan utang antara lain: 1. Personal Guaranty atau jaminan perorangan yaitu jika yang ditunjuk sebagai penanggung atau penjamin adalah orang perorangan. Dalam hal ini penjaminan dilakukan oleh suami/isteri maka harus mendapat persetujuan dari suami/isterinya. Pengadilan dapat membatalkan penanggungan jika tanpa persetujuan tersebut. Namun dalam hal terdapat pemisahan harta antara suami/isteri maka tidak diperlukan persetujuan suami/isteri. 2. Corporate Guaranty yaitu jika yang ditunjuk sebagai penjamin berbentuk perusahaan misalnya Perseroan Terbatas (PT), Koperasi atau badan usaha lainnya. Dalam hal ini penjaminan atau penanggungan dimungkinkan jika mendapat persetujuan dari komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 3. Avalis yaitu penjamin atas pembayaran wesel. Dalam hal Perseroan Terbatas bertindak sebagai penjamin atau pemberi jaminan, maka pada umumnya anggaran dasar PT yang bersangkutan mewajibkan anggota direksi yang bersangkutan memperoleh persetujuan secara tertulis terlebih dahulu dari Dewan Komisaris/RUPS. Perbedaan akibat hukum bagi PT sebagai Pemberi Jaminan dan PT sebagai penjamin (corporate guarantee) adalah sebagai berikut : 1. PT sebagai pemberi jaminan yaitu dimana PT menyerahkan suatu asset tertentu milik PT sebagai jaminan untuk jaminan atas pelunasan hutang pada Bank, berarti pemberian jaminan hanya terbatas pada harta kekayaan PT yang dijaminkan ; 2. PT sebagai penjamin (corporate guarantee) berarti kekayaan PT seluruhnya secara hukum menjadi jaminan atas pelunasan hutang pada Bank, kecuali jika disetujui lain oleh para pihak di dalam corporate guarantee tersebut. Perseroan tidak terlepas dari kemungkinan ketidakmampuan membayar hutang-hutangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh krediturnya, maka dengan adanya keadaan seperti ini perseroan dapat diajukan pailit. Berkaitan dengan pemberian jaminan dalam perseroan yang biasanya dilakukan oleh penjamin dalam pemberian kredit, maka dengan adanya perjanjian jaminan, penjamin dapat melakukan kewajiban debitur apabila debitur dalam hal ini tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditur. Dan apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh kreditor. Jadi kepailitan perseroan sangan berpengaruh pada penjamin, karena apabila perseroan tidak melakukan kewajibannya dlam hal ini lalai melakukan kewajibannya kepada kreditur maka perseroan tersevut dapat diajukan pailit. Akibatnya penjamin juga dapat diajukan pailit oleh kreditur. Karena penjamin merupakan pihak ketiga yang memberikan jaminan kepada kreditur terhadap debitur untuk melaksanakan kewajiban debitur apabila debitur lalai melakukan kewajibannya. Akan tetapi penjamin tidak begitu saja dapat dipailitkan akibat dari perseroan yang tidak melakukan kewajibannya. Apabila perseroan tidak membayar kewajibannya/ tidak membayar utangnya maka penjamin dapat dituntut pertanggungjawabannya untuk melakukan kewajiban perseroan. Tetapi apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibannya/ tidak mampu melakukan kewajibannya maka penjamin dapat diajukan pailit oleh kreditur. Peluncuran kredit oleh suatu Bank mestilah dilakukan dengan berpegangan pada beberapa prinsip, yaitu: 1. Prinsip Kepercayaan Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan, maka setibanya pemberian kredit sebenarnya mestilah selalu dibarengi oleh kepercayaan. Yakni kepercayaan dari Kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi Debitur sekaligus kepercayaan oleh Kreditur bahwa Debitur dapat dibayar kembali kreditnya 2. Prinsip Kehati-hatian Prinsip kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Disamping pula sebagai perwujudan dari prinsip Prudent Banking dari seluruh kegiatan perbankan Dengan keharusan adanya jaminan hutang dalam setiap pemberian kredit sebenarnya juga mempunyai tujuan agar kredit diluncurkan secara hati-hati, sehingga ada jaminan bahwa kredit yang diberikan akan dibayar kembali oleh pihak Debitur. 3. Prinsip 5 C Prinsip 5 C adalah singkatan dari unsur-unsur Character, Capacity, Capital, Condition of Econony, dan Collateral. Untuk itu akan ditinjau satu perasatu dari unsure tersebut yaitu: a. Watak (Character) Salah satu unsur yang mesti diperhatikan oleh Bank sebelum menerbitkan kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian/ watak dari calon Debiturnya. Karena watak dan perilaku yang jelek, maka tidak mau membayar hutangnya. Oleh karena itu, sebelum kredit diberikan maka harus terlebih dahulu ditinjau apakah calon Debitur yang bersangkutan berkelakuan baik, atau tidak terlibat tindakan-tindakan yang tidak terpuji. b. Kemampuan (Capacity) Seorang calon Debitur/ Penanggung hutang harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksi kemampuan untuk melunasi hutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. c. Modal (Capital) Permodalan dari suatu Debitur/penanggung hutang juga merupakan hal yang harus diketahui oleh calon debiturnya. Karena permodalan dan kemampuan keuangan dari seorang Debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kredit. d. Kondisi Ekonomi (Condition of Economy) Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro merupakan factor penting pula untuk dianalisa sebelum kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak Debitur. e. Agunan (Collateral) Angunan sangat penting dalam pemberian kredit. Angunan sebagai jaminan pelunasan atas pemberian kredit oleh Debitur. Angunan merupakan the last resort bagi kreditur dimana akan direalisasi/dieksekusi jika suatu kredit benar-benar dalam keadaan macet. 4. Prinsip 5 P Dalam pemberian kredit, selain prinsip 5 C juga terdapat prinsip 5 P, merupakan singkatan dari Party, Purpose, Payment, Profitability, dan Protection. a. Para Pihak (Party) Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untuk itu pemberian kredit harus memperoleh satu kepercayaan terhadap para pihak, dalam hal ini Debitur. b. Tujuan (Purpose) Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak Kreditur. Yang harus diperhatikan apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan. c. Pembayaran (Payment) Pembayaran kredit dari calon Debitur cukup tersedia dana cukup aman sehingga sengan demikian diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh Debitur yang bersangkutan. d. Keuntungan (Profiability) Unsur perolehan laba oleh Debitur tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pembayaran kredit. Untuk itu, kreditur harus dapat berantisipasi, apakah laba yang diperoleh oleh perusahaan menutupi pembayaran kembali. e. Perlindungan (Protection) Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan Debitur. Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan holding atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting dan harus diperhatikan. 5. Prinsip 3 R 3 R merupakan singkatan dari Returns, Repayment, dan Risk Bearing Ability. a. Hasil yang diperoleh (Return) Return, yakni merupakan hasil yang akan diperoleh oleh Debitur, dalam hal ini ketika telah dimanfaatkan nanti mestilah dapat diantisipasi oleh Kreditur. Artinya perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, onkosongkos,disamping membayar keperluan perusahaan yang lain seperti untuk cash flow, kredit lain jika ada, dan sebagainya. b. Pembayaran Kembali (Repayment) kemampuan membayar kembali dari pihak Debitur tentu saja mesti dipertimbangkan. Dan apakah kemampuan membayar tersebut cocok dengan jadwal pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu. c. Kemampuan menanggung Resiko (Risk Bearing Ability) Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah sejauh mana terdapatnya kemampuan Debitur untuk menanggung resiko. Mislnya dalam hal terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika terdapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Adanya penanggung hutang adalah untuk kepentingan kreditur sehingga merupakan perjanjian antara Kreditur dengan pihak ketiga. Pihak ketiga yang akan menjadi penanggung hutang, dapat dilakukan dengan beberapa cara: 1) Kreditur meminta kepada Debitur untuk menyediakan seorang Penanggung hutang, sehingga adanya penjamin ini diketahui oleh Debitur. Debitur yang mengatur adanya seorang penanggung hutang. 2) Kreditur langsung mengadakan perjanjian penjaminan dengan pihak ketiga, tanpa atau diluar pengetahuan Debitur. Hal ini tidak dilarang Undang-Undang. sumber : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27578/.../Chapter%20II.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar