KORUPSI di Indonesia merupakan sisi kehidupan bangsa Indonesia bagaikan lautan tanpa tepi. Sampai saat ini tampaknya belum ada konsepsi untuk mengantisipasi trend korupsi. Korupsi semakin mendapat posisi dan menguasai berbagai sisi kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Banyak sudah dilakukan upaya, tetapi belum punya daya yang kuat membaja hingga bisa untuk menanggulangi berbagai gaya, upaya dan perilaku korupsi. Memberantas korupsi membutuhkan waktu beberapa generasi. Itu pun kalau ada program yang dilakukan secara konsisten. Menghentikan kebiasaan merokok saja tidak gampang, apalagi korupsi. Meskipun kita berbuat kecil-kecilan tetapi ia bisa bagaikan kerikil yang dapat menggelincirkan perilaku korupsi. Tetapi semua semut memiliki persepsi, visi dan misi yang sama membunuh gajah. Gajah pun mati oleh semut yang kecil tetapi mereka searah dan kompak.
Demikianlah kiranya kita menghadapi tradisi korupsi itu. Marilah kita berbuat meskipun masih kecil-kecilan, yang penting memang itulah yang baru mampu kita lakukan. Menunggu langkah yang besar tidak akan datang, karena yang besar muncul dari yang kecil. Salah satu langkah yang mungkin kelihatan kecil tetapi nantinya akan berdampak besar adalah dengan menangani korupsi melalui sistem pendidikan. Bangunlah sistem pendidikan sebagai proses beryadnya. Pendidikan hendaknya sebagai media beryadnya dari negara dan masyarakat yang memiliki kemampuan lebih. Munculkan peserta didik dari proses beryadnya itu. Janganlah
proses pendidikan itu sebagai media investasi dari peserta didik, apa lagi para penyelenggara pendidikan mendapatkan keuntungan finansial dari investasi peserta didik.
Kalau SDM yang muncul dari proses pendidikan berdasarkan yadnya negara dan
masyarakat mampu akan berbeda hasilnya. Peserta didik itu tidak banyak mengeluarkan dana dalam proses pendidikan itu. Mungkin hanya untuk biaya hidup sehari-hari saja. Sedangkan berbagai fasilitas yang ia dapatkan dalam proses pendidikan merupakan yadnya negara dan masyarakat yang mampu. Peserta didik yang dilahirkan dari proses beryadnya akan merasa bahwa ia menjadi ''orang'' karena yadnya negara dan masyarakat. Secara umum dapat kita yakini bahwa SDM tersebut akan bersemangat untuk beryadnya pada negara dan masyarakat. Kalau
peserta didik itu manusia normal dan wajar-wajar saja pasti akan muncul rasa kepiutangan pada negara dan masyarakat. Dari rasa berutang pada negara dan masyarakat itulah akan dapat menekan nafsu untuk korupsi.
Hal yang juga ikut serta mendorong orang untuk korupsi adalah adanya rasa takut
atau Abhiniwesa. Saya pernah ketemu dengan sepasang turis bersaudara berumur di
atas delapan puluh tahun. Ia berkeliling dunia untuk menghabiskan tabungannya.
Saya tanya, mengapa tidak diwariskan saja pada anak cucunya. Ia menjawab, bahwa
anaknya sudah terjamin hidupnya oleh perusahaan di mana ia pernah bekerja.
Anaknya bekerja di perusahaan di mana ia pernah kerja. Sepasang turis itu tidak
merasa takut meninggalkan anak cucunya pindah ke alam niskala. Di Indonesia hal
seperti itu tidak ada. Siapa yang tidak takut meninggalkan anak cucu hidup
dengan ketidakpastian masa depannya? Bagi mereka yang tidak kuat mentalnya,
korupsi pun akan dilakukan untuk menghilangkan rasa takutnya, dengan mewariskan
jaminan hidup pada anak cucunya setelah ia meninggalkan dunia ini. Negara dan
berbagai pihak harus mencarikan jalan keluar yang benar dan tepat agar dapat
menghilangkan rasa takut ini. Memberantas tradisi korupsi di Indonesia sebaiknya jangan dulu berharap yang muluk-muluk. Lakukanlah hal-hal kecil terlebih dulu, suatu saat pasti akan ketemu langkah yang besar bagaikan semut tetapi mematikan gajah.
Selasa, 27 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar